Diposkan pada sharingstory

Bukti Sejarah Dinasti Utsmani di Bosnia for Adinda Azzahra

Angin kencang berhembus memasuki cendela hotel yang telah kubuka subuh tadi, berniat ingin mendapat udara segar pagi hari, ternyata tubuhku justru tak kuat menahan dinginnya udara pagi ini. Saya dan Mirela kini telah siap, jalan-jalan sudah ditutupi bunga es. Iseng, aku ingin memetik sehelai daun yang telah tertutupi bunga es, dan brrr bunga-bunga es berjatuhan di kaos tanganku.

Kami harus bergegas, karena hari ini kami akan menuju sebuah kota kecil yang menakjubkan, Mostar. Mendengar nama kota ini, saya jadi teringat akan Mortar yang bekasnya banyak saya jumpai kemarin. Tapi kali ini perjalanan kami tidak lagi tentang peperangan, meski Mostar juga memiliki bukti kelamnya peperangan, layaknya rumah-rumah yang tinggal kerangka yang ingin bercerita kepadaku.
Mostar, Inilah kota kuno yang kental akan nuansa Islam, inilah ibukota dari Herzegovina.

Di kota Mostar kami bisa menjumpai peninggalan Kesultananan Turki serta masjid bergaya arsitektur Utsmani. Dinasti Utsmaniyah memang memerintah Bosnia selama lebih dari 400 tahun, yaitu mulai pertengahan abad ke-15 hingga akhir abad ke-19. Sehingga otomatis jejak peradaban Utsmani masih terasa kental di kota Mostar, terlebih setelah bercampur dengan gaya bangunan Astro-Hungaria dan Balkan.

20150805-Mostar-Reflection.jpg

Kali ini kami memulai perjalanan dengan mengunjungi Sungai Neretva, inilah sungai Neretva membelah pusat kota Mostar, dihiasi cantik dengan adanya jembatan Stari Most. Kabarnya Stari Most telah kembali berdiri kokoh setelah bom 1993 yang membuatnya runtuh berkeping-keping di dasar sungai. Padahal awalnya jembatan ini dibangun oleh Khalifah Utsmani untuk menyebrangi sungai Neretva pada abad 16. Kami mencoba berjalan menyusuri jembatan Stari Most yang kini telah masuk dalam warisan dunia, akhirnya saya melihat langsung begitu terawatnya jembatan ini, “Mungkin inilah kenapa jembatan ini tetap menjadi landmark utama di Bosnia Herzegovina.” gumamku

Kini kami telah sampai di sisi lain jembatan Stari Most, Mirela mengajak saya untuk berbelanja di pasar ala Turki yang berada di pinggir Sungai Neretva. Tidak terlalu jauh, letaknya yang berdekatan dengan jembatan Stari Most membuat kami tak perlu lama untuk mulai berselancar di pasar luar ruangan ini. Atmosfer Dinasti Utsmaniyah terasa penuh di Old Bazar Kujundziluk dengan tetap mempertahankan ornamen – ornamen ala dinasti Utsmaniyah. Jalanan berbatu yang sempit nan panjang, disuguhi pemandangan pasar seni yang menjual lampu gantung, teko keramik, dan gelang tembaga.

Setelah lelah, kami sholat dhuhur kami memutuskan untuk sholat di Masjid. Inilah salah satu peninggalan dinasti Utsmaniyah selain Stari Most yang masih aktif penggunaan dan kebermanfaatannya. Rupanya masjid ini kental dengan gaya arsitektur Turki ditandai adanya minaret dan kubah masjid yang mirip dengan bentuk masjid di Turki. Didukung pula dengan lokasi yang strategis, yaitu berada di utara jembatan Stari Most membuat para turis termasuk saya, merasa perlu untuk mengunjungi masjid dan naik ke minaret untuk melihat panorama kota Mostar dari atas.

Apalagi jika ternyata tiket untuk masuk ke Masjid Koski Mehmed Pasha terbilang terjangkau, yaitu sebesar 2 Euro atau Rp33.300. Sementara jika kita ingin naik ke atas minaret untuk melihat pemandangan dari sana, maka perlu membayar tiket lagi sebesar 5 Euro atau Rp83.200. Bagi yang kesini dan tidak membawa jilbab atau syal, tenang saja reader karena pihak wisata dan Telah disediakan pula syal untuk menutup kepala para turis perempuan yang ingin memasuki masjid tetapi belum ada pakaiannya. Syal ini bisa dipinjam di dekat pintu masuk.. Hmm melihat suasana disini, benar-benar serasa seperti berada di masa dinasti Utsmaniyah. Alhamdulillah..

Matahari sudah di atas kepala, kami ingin bersegera ke Blagaj, untuk melihat kota yang terkenal dengan keindahannya.

Jaraknya yang tak terlalu jauh dari Mostar, yaitu sekitar 12 km yang bisa ditempuh dalam setengah jam. Kota Blagaj membuat setiap pelancong yang sengaja ke Bosnia untuk berwisata harus mengunjungi Blagaj. Destinasi utama kami ialah kawasan Tekke, sebuah objek wisata yang terkenal dengan unsur religi. Dulu, Tekke merupakan tempat tinggal kaum sufi, sehingga perempuan tidak dibolehkan untuk langsung memasuki kawasan Tekke. Alhamdulillah sekarang perempuan sudah bisa masuk, sehingga kami bisa menikmati pesona Tekke yang berada di sebelah mata air sungai Buna.

“Masya Allah.. “ sore hari di Tekke membuatku takjub, musala yang bersih dan sunyi beriring kucuran mata air Buna yang airnya berwarna biru hijau yang indah. Pantas saja tempat ini dijadikan pilihan para sufi untuk berzikir. Di seberang sana, saya bisa melihat kaki tebing batu yang menambah suasana semakin tampak asri. Tenang dan nyaman, itulah suasana hari ini. Setelah sehari kemarin berkecimpung dengan cerita-cerita tragis, yang mengikis hati. Ketenangan ini harus segera usai. Hmm, rasanya dua hari di Bosnia-Herzegovina memang terlalu cepat.

Di sebelah sungai Buna ini rupanya ada satu masjid, yang merupakan bukti sejarah dinasti Utsmani yang lainnya. Inilah Masjid Karadjoz-bey yang juga kental dengan nuansa Turki, seperti masjid Koski Mehmed Pasha. Selain istimewa dari segi nilai sejarah, masjid yang dibangun oleh arsitek Kodza Mimar Sinan pada tahun 1557 ini juga disebut sebagai masjid tercantik di wilayah Herzegovina.

Tak lupa Mirela mengajak saya berkeliling ke toko-toko cinderamata, sekaligus untuk persiapan pulang besok. Ada tas, tempelan kulkas, aneka jajanan, jilbab baju, maupun hasil kerajinan tangan. Saya memilih beberapa souvenir dan tentunya makanan untuk bisa dijadikan oleh-oleh.

Inilah dua hari di Bosnia-Herzegovina, mengenal nama-nama asing di negeri asing bagi saya. Tapi begitu banyak kisah yang menarik untuk ditelisik lebih lanjut. Semoga perjalanan ini tetap berlanjut, hingga banyak kisah yang dulu sempat menjadi pertanyaan, satu per satu mulai terjawabkan.

Inilah perjalananku, karena perjalanan bukan sekedar untuk berjalan-jalan, tetapi mensyukuri keindahan alam, serta menelisik setiap kisah yang telah terjadi di atas alam.

Salam dari
Bosnia, Herzegovina

Diposkan pada sharingstory

Tunnel of Hope in Sarajevo for Adinda Azzahra

5d63684c8d9b265ca2a56628765f5c81.jpg

Mengunjungi negara ini seperti memasuki lorong waktu Doraemon. Negara yang pertama kali ku tahu dari sebuah novel yang mengisahkan peperangan yang terjadi antara Muslim dan non-muslim. Tapi, negara ini telah aman kembali, kini Muslim dan non muslim telah mampu hidup berdampingan. Inilah negara yang memiliki banyak jejak, jejak-jejak yang ingin kutelusuri, mulai jejak kekhalifahan Utsmani, hingga jejak aksi tak bernaluri, inilah Bosnia Herzegovina.

Ketika pertama kali mendengar kata Bosnia Herzegovina, entah kenapa seolah ini bukanlah sebuah kata biasa, kata akan kota di dalamnya yang benar-benar bisa memanggil ku untuk mengunjunginya. Entah gerangan apa, tapi mungkin karena inilah nama yang darinya kita bisa mendengar akan adanya sejarah, sejarah dibalik Bosnia Herzegovina yang bisa mengusik pikiran untuk menggalinya.

Roda pesawat telah diturunkan, getaran ringan membuat ku sedikit bergoyang di atas kabin pesawat. Hembusan angin di Sarajevo International Airport menerbangkan kerudung hingga menutupi pandangan ku. Bulan ini Bulan Januari, kabut masih menyelimuti Sarajevo, hawa dingin dan angin berhembus cukup kencang. Tulisan “Medunarodni Aerodrom Sarajevo” nampak begitu jelas menyambut ku, sebenarnya saya tidak tahu apa maksudnya, tapi aku rasa itu bahasa Bosnia untuk bandara internasional.
Sembari menunggu seseorang yang sengaja kucari melalui social media, aku mencoba memahami garis besar tempat-tempat bersejarah di Bosnia Herzegovina yang ingin ku kunjungi.

Kring kring
Suara notifikasi WhatsApp terdengar, ternyata temanku telah sampai di Bandara Internasional Sarajevo. Aku pun melangkah ke (ruang tunggu) untuk mencari sosok bermantel maroon bernama Mirela Safiyah. Itulah satu-satunya nama yang aku bisa temui pertama kali secara langsung, setelah berbulan-bulan kami hanya berkomunikasi jarak jauh melalui layar kotak.
Tidak ada foto ataupun ciri-ciri yang bisa dikenali, pandangan mata ini harus lebih jeli dan lebar untuk menemukan namaku dibalik ratusan kertas nama yang dipajang.
“Munaj Almeera_Indonesia”
I got it!
Akhirnya bertemu dengan pemegang namaku
“Assalamualaikum, are you Mirela?” Ucapku memulai
“Wa’alaikum salam my sister Munaj, welcome to Bosnia” perempuan itu menghampiri ku untuk memeluk, aku pun menyambut pelukan dari sahabat baruku. Pelukan hangat untuk menyambutku. Meski sebenarnya pertanyaan belum terjawab, tapi aku yakin dialah Mirela, yang kucari.

Tak butuh waktu lama berbasa-basi ataupun menyesuaikan kondisi, karena aku sudah cukup sering berkomunikasi dengan Mirela. Maka 3 hari ini aku berniat untuk merealisasikan apa yang dulu masih menjadi bahan pembicaraan kami dalam chat untuk menjadi bahan pembicaraan kami di lokasi nya langsung.

“Oh iya Mirela, bisakah kau mengantarkan ku ke salah satu restoran halal di dekat sini?” Tanyaku polos sambil memegang perut ku yang serasa sudah kempes.
“Of course, let’s we go to….” Mirela tampak berfikir

Awalnya aku sedikit curiga, apa tidak ada restoran halal di Sarajevo, bukankah negara ini memiliki rakyat muslim dengan jumlah lumayan.

“Do you want go to Mrkva, Bazeni, Pirpa, Baklava Ducan, chunvdyhjkbvfxhjkinkggfjkjkhg” Mirela berbicara panjang lebar
Aku hanya melongo sambil garuk-garuk kepala,
Masya Allah, kataku dalam hati. Ternyata aku terlalu suudzon, karena ternyata Sarajevo bukanlah kota yang minim restoran halal, melainkan begitu banyak restoran halal dengan beranekaragam menu unggulan.
Pirpa, sebuah restoran halal modern di Cobanija, Sarajevo, restoran yang aku pilih, sebagai pecinta vegan, aku berharap restoran ini menyediakan berbagai menu vegan yang bisa mengalihkan keinginan ku tentang rasa pecel Madiun.

Suhu udara hampir di titik beku, bersamanya langkah kaki cekatan segera memasuki taxi yang telah kami pesan untuk menuju Pirpa. Tak hanya itu, Kami berkendara dengan sangat pelan, kabut hari ini memang cukup tebal, kabut yang cukup membuat jarak pandang ku yang minus menjadi semakin terbatas.

Akhirnya kami sampai di depan Pirpa, telah banyak orang yang mengantri melalui layanan “brza hrana” sehingga memudahkan mereka yang ingin pesan makanan dan dibungkus tanpa masuk area restoran. Restoran yang menyajikan berbagai macam jenis burger ini dikemas dengan gaya modern serta memiliki beberapa keunggulan diantaranya menu cepat saji, makanan bakar, dan tentunya vegan. Mataku cukup kebingungan sembari membolak-balikkan menu yang mana yang ingin ku pesan. Perhatian ku akhirnya tertuju pada salah satu menu yang tak asing di lidahku. Yaitu kebab, dan aku saat itu memilih peleci kebab.
Alhamdulillah, akhirnya perut kenyang kembali. Kami pun bergegas untuk melanjutkan perjalanan.

Inilah Sarajevo, sebagai kota yang letaknya hampir tepat di tengah-tengah negara Bosnia, Sarajevo juga menjadi ibu kota negara ini. Seperti nya kami memerlukan waktu seharian penuh untuk mengelilingi kota terbesar di Bosnia ini, sehingga satu hari ini kami akan fokus untuk mengelilingi Sarajevo, terlebih untuk kembali menyaksikan bukti-bukti perang.
“Apa ini, kenapa banyak saya temukan ornamen berwarna merah?” Tanya saya pada Mirela, setelah beberapa kali menemukan ornamen merah berbentuk mirip bunga di sepanjang perjalanan kami.
“Ini bukan ornamen biasa, ornamen ini mengkiaskan bekas lontaran mortar di jalanan Sarajevo dua dasawarsa yang lalu” terang Mirela
“Apa itu mortar?” tanyaku
“Mortar ialah sejenis bom berbentuk tabung, mortar-mortar inilah yang dilayangkan oleh tentara Serbia saat peperangan selama tiga setengah tahun lamanya”
Inilah ornamen memorial perang, disana kita bisa melihat banyaknya lontaran mortar yang dengan itu tentu banyak pula darah yang tertumpahkan. Itulah mengapa bekas mortar ini dicat dengan warna merah, dan dinamakan Sarajevo Roses.
Akhirnya kami sampai di Sarajevo War Tunnel, atau biasa disebut dengan Tunnel of hope. Kenapa tunnel (terowongan) ini diberi keterangan hope?
Saya pun dibawa kembali ke masa silam, memasuki suasana perang yang saat itu terjadi. ketika ribuan mortar dilontarkan setiap harinya, bunyi-bunyi mortar yang berdentum di tanah maupun tembok rubuh sudahlah biasa. Jangankan untuk membawa bahan kebutuhan, sehari-hari, untuk sekedar menyeberang ke sebelah pun begitu sulit. Sehingga saat itu Sarajevo pun kesulitan bahan makanan, obat-obatan, serta kebutuhan lainnya. Tidak hanya itu, tentara Serbia juga memblokade bandara, dimana bantuan dari berbagai penjuru dunia berdatangan disana.
Hingga muncullah ide untuk membuat sebuah terowongan di bawah airport, sebagai penghubung Sarajevo yang telah terisolir dengan dunia luar.

Proyek sangat rahasia ini dikerjakan oleh para profesional, yaitu tentara Bosnia di bawah Jenderal Rasid Zorlak bersama para pekerja kontruksi. Mereka juga harus sangat berhati-hati, karena kesalahan sekecil apapun, bisa membawa dampak buruk untuk Bandara Sarajevo. Hampir 6 bulan lamanya, hingga pekerja penggali terowongan dari arah yang berbeda akhirnya bertemu di bawah Bandara Sarajevo. Dan mulai malam itu pun, terowongan tersebut akhirnya mulai bisa dioperasikan. Distribusi bahan makanan, minuman, obat-obatan, bahkan orang sakit pun ditandu melalui terowongan ini. Inilah terowongan harapan, ketika hanya ada satu jalan untuk keluar dari Sarajevo, satu-satunya, yaitu melalui terowongan ini.
Tak lupa kami mengunjungi sebuah rumah yang dulu menjadi salah satu ujung dari tunnel of hope, sambil berbincang-bincang dengan pemilik rumah, saya berusaha menggali informasi terkait perang Bosnia ini. Kami pun melanjutkan langkah, menuju ke War Tunnel Museum. Setelah membeli tiket masuk, kami memilih menonton sebuah film pendek yang menceritakan perang di Sarajevo, kami berdua harus menuju ruang bawah tanah untuk menontonnya.

Penyetelan film pun usai, dan kami melanjutkan perjalanan memasuki terowongan perang, panjangnya memang tak sepanjang terowongan aslinya, bagian dalamnya pun juga terlihat bagus, dari dindingnya kami bisa melihat foto-foto yang dipajang berkaitan aktivitas apa saja yang telah terjadi di terowongan tersebut. Begitu sesak, dan cukup menantang adrenali, tapi banyak juga yang mengantri untuk memasukinya, karena hanya dengan memasuki terowongan sempit yang penuh sesak dengan barang dan orang tersebutlah penduduk Bosnia bisa membebaskan diri.
Gelap dan sesak, begitulah kondisi terowongan saat itu. Sama halnya dengan hari ini yang telah mulai gelap, dan kami pun memutuskan untuk kembali ke hotel.

Sarajevo, kota yang bersejarah
Darinya saya belajar, bahwa peperangan dan kecaman antar etnis memang selalu menjadi bumbu kehidupan.
Tapi Sarajevo bisa melewatinya, dan kini pun penduduknya bisa saling berdampingan dengan nyaman.
Semoga begitu pula dengan negeri-negeri lain yang kini masih dalam peperangan.