Angin kencang berhembus memasuki cendela hotel yang telah kubuka subuh tadi, berniat ingin mendapat udara segar pagi hari, ternyata tubuhku justru tak kuat menahan dinginnya udara pagi ini. Saya dan Mirela kini telah siap, jalan-jalan sudah ditutupi bunga es. Iseng, aku ingin memetik sehelai daun yang telah tertutupi bunga es, dan brrr bunga-bunga es berjatuhan di kaos tanganku.
Kami harus bergegas, karena hari ini kami akan menuju sebuah kota kecil yang menakjubkan, Mostar. Mendengar nama kota ini, saya jadi teringat akan Mortar yang bekasnya banyak saya jumpai kemarin. Tapi kali ini perjalanan kami tidak lagi tentang peperangan, meski Mostar juga memiliki bukti kelamnya peperangan, layaknya rumah-rumah yang tinggal kerangka yang ingin bercerita kepadaku.
Mostar, Inilah kota kuno yang kental akan nuansa Islam, inilah ibukota dari Herzegovina.
Di kota Mostar kami bisa menjumpai peninggalan Kesultananan Turki serta masjid bergaya arsitektur Utsmani. Dinasti Utsmaniyah memang memerintah Bosnia selama lebih dari 400 tahun, yaitu mulai pertengahan abad ke-15 hingga akhir abad ke-19. Sehingga otomatis jejak peradaban Utsmani masih terasa kental di kota Mostar, terlebih setelah bercampur dengan gaya bangunan Astro-Hungaria dan Balkan.
Kali ini kami memulai perjalanan dengan mengunjungi Sungai Neretva, inilah sungai Neretva membelah pusat kota Mostar, dihiasi cantik dengan adanya jembatan Stari Most. Kabarnya Stari Most telah kembali berdiri kokoh setelah bom 1993 yang membuatnya runtuh berkeping-keping di dasar sungai. Padahal awalnya jembatan ini dibangun oleh Khalifah Utsmani untuk menyebrangi sungai Neretva pada abad 16. Kami mencoba berjalan menyusuri jembatan Stari Most yang kini telah masuk dalam warisan dunia, akhirnya saya melihat langsung begitu terawatnya jembatan ini, “Mungkin inilah kenapa jembatan ini tetap menjadi landmark utama di Bosnia Herzegovina.” gumamku
Kini kami telah sampai di sisi lain jembatan Stari Most, Mirela mengajak saya untuk berbelanja di pasar ala Turki yang berada di pinggir Sungai Neretva. Tidak terlalu jauh, letaknya yang berdekatan dengan jembatan Stari Most membuat kami tak perlu lama untuk mulai berselancar di pasar luar ruangan ini. Atmosfer Dinasti Utsmaniyah terasa penuh di Old Bazar Kujundziluk dengan tetap mempertahankan ornamen – ornamen ala dinasti Utsmaniyah. Jalanan berbatu yang sempit nan panjang, disuguhi pemandangan pasar seni yang menjual lampu gantung, teko keramik, dan gelang tembaga.
Setelah lelah, kami sholat dhuhur kami memutuskan untuk sholat di Masjid. Inilah salah satu peninggalan dinasti Utsmaniyah selain Stari Most yang masih aktif penggunaan dan kebermanfaatannya. Rupanya masjid ini kental dengan gaya arsitektur Turki ditandai adanya minaret dan kubah masjid yang mirip dengan bentuk masjid di Turki. Didukung pula dengan lokasi yang strategis, yaitu berada di utara jembatan Stari Most membuat para turis termasuk saya, merasa perlu untuk mengunjungi masjid dan naik ke minaret untuk melihat panorama kota Mostar dari atas.
Apalagi jika ternyata tiket untuk masuk ke Masjid Koski Mehmed Pasha terbilang terjangkau, yaitu sebesar 2 Euro atau Rp33.300. Sementara jika kita ingin naik ke atas minaret untuk melihat pemandangan dari sana, maka perlu membayar tiket lagi sebesar 5 Euro atau Rp83.200. Bagi yang kesini dan tidak membawa jilbab atau syal, tenang saja reader karena pihak wisata dan Telah disediakan pula syal untuk menutup kepala para turis perempuan yang ingin memasuki masjid tetapi belum ada pakaiannya. Syal ini bisa dipinjam di dekat pintu masuk.. Hmm melihat suasana disini, benar-benar serasa seperti berada di masa dinasti Utsmaniyah. Alhamdulillah..
Matahari sudah di atas kepala, kami ingin bersegera ke Blagaj, untuk melihat kota yang terkenal dengan keindahannya.
Jaraknya yang tak terlalu jauh dari Mostar, yaitu sekitar 12 km yang bisa ditempuh dalam setengah jam. Kota Blagaj membuat setiap pelancong yang sengaja ke Bosnia untuk berwisata harus mengunjungi Blagaj. Destinasi utama kami ialah kawasan Tekke, sebuah objek wisata yang terkenal dengan unsur religi. Dulu, Tekke merupakan tempat tinggal kaum sufi, sehingga perempuan tidak dibolehkan untuk langsung memasuki kawasan Tekke. Alhamdulillah sekarang perempuan sudah bisa masuk, sehingga kami bisa menikmati pesona Tekke yang berada di sebelah mata air sungai Buna.
“Masya Allah.. “ sore hari di Tekke membuatku takjub, musala yang bersih dan sunyi beriring kucuran mata air Buna yang airnya berwarna biru hijau yang indah. Pantas saja tempat ini dijadikan pilihan para sufi untuk berzikir. Di seberang sana, saya bisa melihat kaki tebing batu yang menambah suasana semakin tampak asri. Tenang dan nyaman, itulah suasana hari ini. Setelah sehari kemarin berkecimpung dengan cerita-cerita tragis, yang mengikis hati. Ketenangan ini harus segera usai. Hmm, rasanya dua hari di Bosnia-Herzegovina memang terlalu cepat.
Di sebelah sungai Buna ini rupanya ada satu masjid, yang merupakan bukti sejarah dinasti Utsmani yang lainnya. Inilah Masjid Karadjoz-bey yang juga kental dengan nuansa Turki, seperti masjid Koski Mehmed Pasha. Selain istimewa dari segi nilai sejarah, masjid yang dibangun oleh arsitek Kodza Mimar Sinan pada tahun 1557 ini juga disebut sebagai masjid tercantik di wilayah Herzegovina.
Tak lupa Mirela mengajak saya berkeliling ke toko-toko cinderamata, sekaligus untuk persiapan pulang besok. Ada tas, tempelan kulkas, aneka jajanan, jilbab baju, maupun hasil kerajinan tangan. Saya memilih beberapa souvenir dan tentunya makanan untuk bisa dijadikan oleh-oleh.
Inilah dua hari di Bosnia-Herzegovina, mengenal nama-nama asing di negeri asing bagi saya. Tapi begitu banyak kisah yang menarik untuk ditelisik lebih lanjut. Semoga perjalanan ini tetap berlanjut, hingga banyak kisah yang dulu sempat menjadi pertanyaan, satu per satu mulai terjawabkan.
Inilah perjalananku, karena perjalanan bukan sekedar untuk berjalan-jalan, tetapi mensyukuri keindahan alam, serta menelisik setiap kisah yang telah terjadi di atas alam.
Salam dari
Bosnia, Herzegovina